“Jadi orang tua itu
nggak enak, Jo …,” kata emak curhat.
Saya mencoba
mendengarkan keluhan emak. Setahu saya, dari zaman dinosaurus yang namanya jadi
orang tua memang berat.
“Gara-gara mbak, yo
Mak?”
“Iyo”
“Kenapa?”
“Lha gara-gara kamu
bertengkar sama mbakmu, aku jadi disalah-salahkan. Katanya aku mbela kamu
terus. Aku nggak mbela dia sama sekali. Aku pilih kasih”
“Nggak usah
ditanggapi, mak. Mungkin dia lagi stress”
“Lha iyo. Lha aku
kan sayang sama semua anakku. Kalau nggak sayang, wes tak cekik sejak lahir
dulu”
“Hah. Sadis, Mak”
“Semua yo tak
sekolahkan sampai sarjana”
“Ho-oh”
“Lha terus kog aku
sik diarani pilih kasih”
“Yo ben to Mak.
Sakarepe sing ngomong. Wong ngomong nggak kulak”
“Hhhh … Aku mbesuk
lek wes tuek nggak gelem melu mbakyumu, Jo …”
“Emang saiki durung
tuo?”
Hahaha.
Emak tertawa
terbahak. Saya senang melihtnya tertawa. Giginya yang sudah ompong terlihat
semua. Ya Allah, ternyata ibuku juga sudah tua ya. Sudah terlalu tua untuk
menikmati penderitaan hidup.
Seharusnya beliau
saat ini tinggal memetik amal kebaikan yang dulu beliau tanam. Tapi inilah
kehidupan. Kita nggak bisa berharap apa-apa yang kita tanam akan berbuah
seperti apa yang kita inginkan.
“Trus, karepe emak
piye?”
“Aku melok kamu aja”
“Lha. Aku iki
cerewet lho mak”
“Gak papa”
“Aku moody, mak.
Kadang gampang marah”
“Gak papa”
“Gak nyesel melu
aku?”
“Gak. Kamu anakku
sing paling apik”
“Hala-hala …”
Kami berdua ketawa.
Menertawakan hal yang kadang-kadang buat kita sedih. Tapi itulah hidup. Kalau
kita menuruti kesedihan, menuruti permasalahan,
hidup ini jadi terasa berat.
Jadi, apapun
masalahnya, hadapi saja dengan senyum. Hidup tanpa masalah, bukan hidup
namanya. kalau sudah mati dan dikubur, pasti tak akan pernah ada lagi yang
namanya masalah.
**
Tinggal dalam satu
rumah tapi tak bertegur sapa itu rasanya aneh. Dan saya tahu persis, sebagai
saudara sedarah tak seharusnya kami bersikap seperti ini.
Tapi saya bertahan
atas nama ego.
Ego saya memang
besar. Kalau merasa benar, saya akan bertahan dengan sikap saya. Saya memang
begitu.
Tapi sebentar lagi
lebaran tiba.
Akankah perseteruan
kami ini akan terus berjalan? Well, saya rencana mau kabur saja saat lebaran.
Biar nggak ada acara saling maaf-memaafkan. Masak saya yang tidak bersalah
harus meminta maaf duluan?
NISTA!
Tapi saya mulai
melihat tanda-tanda kakak perempuan saya ingin berdamai. Sepulang kerja, dia membawakan kue putu
kesukaan saya. Tapi diberikan lewat ibu saya.
Saya masih marah.
Tapi kuenya tetep saya makan. Habis enak, sih!
Kemarin juga dia sempat-sempatkan
membelikan saya nasi bebek. Saya masih marah, tapi nasi bebeknya tetep saya
makan. Hehehe … daripada mubazir, mending nasi itu saya makan, bukan?
***
Pagi itu, saya merasa mellow.
Seperti ada rasa
sedih yang entah saya sendiri tak tahu kesedihan apa yang sedang saya alami.
Miris aja. Saat bulan puasa hampir usai, mendekati lebaran, namun sedang ada
masalah dalam keluarga.
Ada beberapa tetes
air mata yang tiba-tiba saja menetes. Saya merasa belum menjadi pribadi yang
baik. Terus sampai kapan saya begini? Sepertinya saya tak akan pernah bisa
menjadi pribadi yang baik.
Dan itu menyedihkan
sekali.
Saya hanya berharap
dan berdoa semua permasalahan segera terselesaikan dengan baik. I hope it all
will be happy ending.
SEMOGA.
-minta doanya ya-
Everything gonna be ok !
BalasHapusSemoga. Thanks @poetra handoko
Hapus