Translate

Rabu, 21 Juni 2017

HAPPY ENDING






“Jadi orang tua itu nggak enak, Jo …,” kata emak curhat.

Saya mencoba mendengarkan keluhan emak. Setahu saya, dari zaman dinosaurus yang namanya jadi orang tua memang berat.

“Gara-gara mbak, yo Mak?”

“Iyo”

“Kenapa?”

“Lha gara-gara kamu bertengkar sama mbakmu, aku jadi disalah-salahkan. Katanya aku mbela kamu terus. Aku nggak mbela dia sama sekali. Aku pilih kasih”

“Nggak usah ditanggapi, mak. Mungkin dia lagi stress”

“Lha iyo. Lha aku kan sayang sama semua anakku. Kalau nggak sayang, wes tak cekik sejak lahir dulu”

“Hah. Sadis, Mak”

“Semua yo tak sekolahkan sampai sarjana”

“Ho-oh”

“Lha terus kog aku sik diarani pilih kasih”

“Yo ben to Mak. Sakarepe sing ngomong. Wong ngomong nggak kulak”

“Hhhh … Aku mbesuk lek wes tuek nggak gelem melu mbakyumu, Jo …”

“Emang saiki durung tuo?”

Hahaha.

Emak tertawa terbahak. Saya senang melihtnya tertawa. Giginya yang sudah ompong terlihat semua. Ya Allah, ternyata ibuku juga sudah tua ya. Sudah terlalu tua untuk menikmati penderitaan hidup.

Seharusnya beliau saat ini tinggal memetik amal kebaikan yang dulu beliau tanam. Tapi inilah kehidupan. Kita nggak bisa berharap apa-apa yang kita tanam akan berbuah seperti apa yang kita inginkan.

“Trus, karepe emak piye?”
“Aku melok kamu aja”

“Lha. Aku iki cerewet lho mak”
“Gak papa”

“Aku moody, mak. Kadang gampang marah”
“Gak papa”

“Gak nyesel melu aku?”
“Gak. Kamu anakku sing paling apik”

“Hala-hala …”

Kami berdua ketawa. Menertawakan hal yang kadang-kadang buat kita sedih. Tapi itulah hidup. Kalau kita menuruti kesedihan, menuruti permasalahan,  hidup ini jadi terasa berat.

Jadi, apapun masalahnya, hadapi saja dengan senyum. Hidup tanpa masalah, bukan hidup namanya. kalau sudah mati dan dikubur, pasti tak akan pernah ada lagi yang namanya masalah.


**

Tinggal dalam satu rumah tapi tak bertegur sapa itu rasanya aneh. Dan saya tahu persis, sebagai saudara sedarah tak seharusnya kami bersikap seperti ini.

Tapi saya bertahan atas nama ego.

Ego saya memang besar. Kalau merasa benar, saya akan bertahan dengan sikap saya. Saya memang begitu.

Tapi sebentar lagi lebaran tiba.

Akankah perseteruan kami ini akan terus berjalan? Well, saya rencana mau kabur saja saat lebaran. Biar nggak ada acara saling maaf-memaafkan. Masak saya yang tidak bersalah harus meminta maaf duluan?

NISTA!

Tapi saya mulai melihat tanda-tanda kakak perempuan saya ingin berdamai.  Sepulang kerja, dia membawakan kue putu kesukaan saya. Tapi diberikan lewat ibu saya.

Saya masih marah. Tapi kuenya tetep saya makan. Habis enak, sih!

Kemarin juga dia sempat-sempatkan membelikan saya nasi bebek. Saya masih marah, tapi nasi bebeknya tetep saya makan. Hehehe … daripada mubazir, mending nasi itu saya makan, bukan?

***

Pagi itu,  saya merasa mellow.

Seperti ada rasa sedih yang entah saya sendiri tak tahu kesedihan apa yang sedang saya alami. Miris aja. Saat bulan puasa hampir usai, mendekati lebaran, namun sedang ada masalah dalam keluarga.

Ada beberapa tetes air mata yang tiba-tiba saja menetes. Saya merasa belum menjadi pribadi yang baik. Terus sampai kapan saya begini? Sepertinya saya tak akan pernah bisa menjadi pribadi yang baik.

Dan itu menyedihkan sekali.

Saya hanya berharap dan berdoa semua permasalahan segera terselesaikan dengan baik. I hope it all will be happy ending.

SEMOGA.

-minta doanya ya-

2 komentar: