Semua
berawal dari cuitanku di twitter.
Aku
menulis,”Ini kan gay yang sering ngaku TNI. Dia bahkan menipu saya. Pinjam
uangpun tak dikembalikan” di status twitter seserorang yang mengaku-aku juga sebagai
TNI.
Cuitanku
itu tertuju pada foto lelaki yang dia pasang. Beberapa waktu yang lalu aku
memang mengenal lelaki itu. Kami bahkan sudah berkencan dua kali. Tapi aku
putuskan karena dia sepertinya hanya menginginkan uangku saja. Beberapa kali
minta ditransfer uang.
Pemilik
akun yang mengaku TNI itu kemudian membalas tuitanku,”Ketemu aja sama orangnya
langsung”
“Boleh”
jawabku.
Kami
janjian bertemu di J Co Delta Plaza. Sosoknya tinggi, langsing dan muscle dengan
muka yang tidak terlalu tampan seperti yang
dipasang distatus-statusnya.
“Ini
akun kamu?” tanyanya.
“Bener”
Dia
langsung berdiri dan memukul mukaku dua kali. Aku tak sempat membela diri. Aku
benar-benar tak menyangka reaksinya akan seperti ini. Dia menarik kerah bajuku dan mengajakku ke
kantor polisi.
Aku
menurut saja.
Bukannya
aku takut, tapi aku malu diperlakukan seperti ini. Bukan sifatku berkelahi di
dalam Mall. Ini kelakuan biadab. Aku
mencoba menjelaskan,”Mas, bukan itu maksudku. Aku menjelaskan bahwa foto yang
mas pasang di tuit itu yang menipu saya”
Tapi
dia seperti kesetanan. Dia tetap membawaku ke depan jalan sambil teriak,”Kamu
jelaskan saja di kantor polisi”
Baiklah,
aku menurut saja. Aku bersiap akan menjelaskan apapun yang pernah kulakukan.
Aku tidak takut, meski aku sadar akan banyak resikonya. ID-ku sebagai gay jelas
akan terbongkar. Aku pasrah saja dengan apa yang dia mau.
Karena
taksi tak juga muncul, aku menawarkan membawa mobilku saja. Di sepanjang jalan,
dia mengomel bahwa aku telah melecehkannya. Dia menganggapku telah menuduhnya
sebagai TNI palsu. Dia tunjukkan foto KTP orang-orang yang ditangkapnya.
Aku
bersumpah demi Allah, bukan itu maksudku.
Tapi
dia tetap bersikeras maksud cuitanku adalah demikian. Percuma saja menjelaskan
ke orang yang sudah kalap seperti ini.
Dia cerita sudah menangkap orang-orang yang menuis cuitan buruk
tentangnya. Dia juga cerita bahwa dia berdinas di tentara.
Tiba-tiba
saja di perjalanan mendekati kantor polisi dia berubah pikiran. Dia menyuruhku
menepi dan bilang karena aku sudah tua, maka dia tidak mau memperpanjang
masalah ini. Lho … why not? Sudah kepalang tanggung. Dia sudah memukul dan
mempermalukanku.
Dia
minta diantarkan balik ke Delta Plaza. Aku
menuruti keinginannya itu. Akhirnya dia turun dengan bersungut-sungut. Ada
sedikit rasa lega bahwa aku ‘lepas’ dari jebakannya.
Sepanjang
perjalanan, aku merasa ini adalah pembelajaran buatku agar tidak mencampuri
urusan orang lain, meski aku sendiri pernah berkaitan dengan orang tersebut.
Ini
juga pelajaran agar tidak usah menemui orang yang sok, merasa high dan kasar.
Bisa jadi dia ini memang bukan polisi atau tentara. Masak iya, seorang aparat
memasang foto-foto telanjangnya bahkan video seksnya di situsnya.
OK,
andai kami ada di kantor polisi, apa dia juga tidak kena pelanggaran UU ITE
dengan tuduhan menyebarkan hal-hal berbau porno. Aku semakin yakin, dia ini
adalah tentara/ polisi palsu.
FYUH,
aku sedang apes.