Translate

Minggu, 25 Juni 2017

LEBARAN TELAH TIBA






Lebaran telah tiba!

Pagi itu aku tidak melaksanakan sholat Ied di Masjid. Aku harus menjaga bapak yang sejak tiga hari kemarin sakit panas.  Sudah dikasih obat, tapi panasnya masih juga tinggi.

Emak juga tidak ikutan sholat Iedul Fitri. Emak memang istri yang setia. Beliau tidak pernah mau meninggalkan bapak kalau kondisinya sedang sakit.

Emak nggak mau bapak meninggal tanpa ada istri di sampingnya. Itu istri durhaka, katanya. Hahaha ... emang memang istri yang setia. Beliau tak mau meninggalkan bapak barang sedetikpun.

Tapi, umur seseorang siapa yang tahu?

Lagian aku merasa bapak masihlah –harus- berumur panjang. Anak-anaknya masih membutuhkan sosoknya, meski bapak sekarang tak bisa berbuat banyak sekalipun.

Bapak, plis cepet sembuh!

*
“Emak gak dandan? Bentar lagi para tetangga kan kesini?” kataku ke emak yang masih juga berkutat di dapur. Entah apa yang dimasaknya. Lha wong nggak ada satupun makanan yang tersaji di meja makan. Emak pasti sedang berkutat dengan pikirannya sendiri.

“Iya. Bentar lagi ...,” katanya mengelak.

“Baju barunya mana?” kataku menanyakan baju yang dibelikan oleh temanku dari Pati sana.

“Kan tak taruh di lemarimu”
“Lah ... kan sudah dipindah kemarin”

“Durung. Masih disitu kog”

Aku langsung menuju ke kamar dan membuka lemariku. Aku yakin baju baru itu tak ada di lemariku lagi. Kemarin kan sudah dipindah semua sama emak.

“Nggak ada, mak”
“Lho ... ndok endi klambine ...”

Astaghfirullah.

Kadang aku merasa kesal dengan penyakit lupa emak.  Sudah sangat keterlaluan sekali kelupaannya. Aku sadar itu karena faktor usia. Tapi kalau begini terus, aku kan jadi jengkel sendiri.

Kulihat emak mulai membongkar-bongkar lemarinya.

Baju itu seperti lenyap ditelan setan kober. Shit. Aku ingin melihat emak mengenakan baju itu pagi ini.  Dia pasti terlihat cantik dengan baju itu. Baju gamis dengan hiasan payet blink-blink.

Tapi keinginanku sia-sia saja.

Hingga last minute, baju itu tak juga ada.  Dan emak,  lagi-lagi mengenakan baju lamanya. Sepertinya baju itu sudah beberapa hari raya dipakainya. Aku malu. Takut dianggap sebagai anak yang tak peduli dengan kondisi emaknya.

Tapi aku bisa apa?

**

Aku sendiri mengenakan baju baru yang kubeli di Matahari kemarin. Baju sederhana berwarna abu-abu berhiaskan bordiran di sisi kanan. Penampilanku sudah mirip dengan muslim sejati. Hah.

Sebenarnya aku mau mengenakan baju gamis pemberian sahabatku. Aku pasti akan terlihat tampan, sederhana dan suci. Suci dan putih seperti warna bajunya.

Tapi aku tidak jadi mengenakannya.  Tadi sempat kulihat tetangga depan rumah juga mengenakan baju putih. Alamak. Kalau kumpul nanti, apa nggak jadi kayak kumpulan grup musik hadrah?

Kuputuskan untuk memakai baju putih itu  untuk sholat di masjid saja.  Jadi ada amal yang mengalir buat pemberi baju itu. Thanks, sahabatku Bah.    

***

Orang-orang yang sholat di masjid sudah pulang.

Tiba saatnya aku bermaaf-maafan dengan ibu-bapakku. Tak ada acara mellow pagi ini saat aku sungkem sama emak.  Ini gara-gara masalah baju emak baru yang sirna itu.

SIGH.

Bapak belum bisa bangun.  Bahkan membuka mata saja tidak.  Aku hanya mendekatinya, menciumi wajahnya serta mendoakan agar beliau cepat sembuh seperti sedia kala.  Bapak, plis ... sembuhlah.

Usai  acara sungkeman itu, aku berbaur dengan para tetangga di sekitar.

Sudah semacam tradisi di kampung kami, usai sholat Ied, kami saling mengunjungi ke rumah-rumah warga.  Utamanya yang sudah senior, sudah sepuh dan tidak bisa jalan lagi.

Ada rasa senang, bahagia dan sedih berkumpul jadi satu.

Aku merasa senang bisa berkumpul, bertegur sapa dengan teman-teman masa kecil dulu.  Apapun itu, masa kecil adalah masa paling menyenangkan. Itu masa dimana kita tidak dituntut untuk bertanggungjawab terhadap masa depan kita. Masa senang-senang.

Aku merasa bahagia, saat melihat teman-temanku sudah pada sukses dengan kehidupannya sekarang.  Ada yang jadi tentara, polisi, dan pengusaha.  Beberapa teman ada juga yang masih merintis usahanya.

Tapi aku sedih saat melihat ada beberapa teman yang sudah sebatang kara.  Tak ada orang tua yang menemani di saat-saat seperti ini.  Aku bisa merasakan ‘rasa kehilangan’ mereka.

Tapi di Hari Fitri seperti ini, aku tak boleh larut dalam kesedihan.

Ini adalah hari dimana para muslim merayakan kemenangannya usai sebulan penuh melawan hawa-nafsunya sendiri. Melawan rasa lapar, haus dan nafsu seksual.

Sayangnya, aku belum bisa melaksanakan itu semua.

****

Kubuka hapeku.

Ada banyak sekali ucapan dari teman-teman. Aku sangat menghargai itu semua.  Kuanggap itu sebuah perhatian, meski hanya sekedar copy-paste saja.  At least mereka sudah punya niat yang baik.

Ada satu pesan minta maaf dari teman kerja yang selama ini kunyatakan sebagai musuhku. Aku tak langsung membalasnya.  Kubiarkan saja pesannya tak berbalas. Aku membalas pesan-pesan dari rekan-rekanku yang baik-baik saja.

But, hey ... think about it, JO!

Tak seharusnya aku berbuat seperti itu.  Aku ingat ceramah pak ustad,”Kalau membalas kebaikan dengan kebaikan itu hal yang biasa. Jadi luar biasa kalau kita membalas kejahatan dengan kebaikan”

Njing!!!

Pikiranku seperti sedang bergulat.  Pergulatan antara kebaikan dan kejahatan.  Sungguh, amarahku terasa bergejolak panas kalau mengingat musuhku itu.  Jangankan berbicara dengannya, bahkan melihat bayangan tubuhnya saja aku sudah mual.

Buatku, dia ini orang paling jahat sedunia.  Bitch!

Sampai pada satu keputusan, aku membalas pesannya itu.  Masih dengan setengah hati, sih.  Kupikir nggak ngaruh juga, toh hanya tulisan ketikan tangan saja.

Ya Allah, jadikan hamba-MU ini pribadi yang berhati luas seluas samudra.  Jadikan hamba pribadi yang berakhlak mulia.  Jadikan hamba sosok yang baik hati, ramah, tidak sombong dan tidak mudah menyimpan dendam.

Ternyata jadi orang baik itu susah.


Oh ya ...  buat pembaca blogku yang beragama Islam:

“Selamat  Hari Raya Idul Fitri.
Mohon Maaf Lahir Dan Batin”

Kamis, 22 Juni 2017

LIBUR TELAH TIBA



 

  
HORE!!!

Hari yang ditunggu akhirnya datang juga. Jadi ceritanya, kantorku meliburkan diri selama 10 hari. Ajib bener, kan? Bahkan kalau mengambil cuti saja cuma dapet 6 hari.

Ide-ide liburan datang meliar begitu saja.

Yang ke Parislah, ke Hongkonglah, ke Australialah.  Hahaha. Namanya juga ide liar. Ngayal-ngayal dikit, gak papa bukan? Lagian duitnya siapa mau pergi ke negeri orang. Pasti butuh duit banyak.

Mauku sih travelling sex  aja ke beberapa kota.

Konsepnya aku akan pergi ke beberapa kota terdekat. Nyalain grindr, kalau dapet yang sesuai dengan selera, langsung saja check in di hotel terdekat. Kalau enggak, ya quicky sex aja di dalam mobil.

Parah.

*

Malam Jumat telah tiba. Suasana kota Surabaya terlihat mulai lengang.  Hari ini adalah awal orang-orang mulai mudik pulang ke desanya masing-masing.
Usai pijat di salah satu mall, aku langsung pulang dan tidur.  Pijatan terapisnya tadi memag enak. Tapi dia ini pure pijat, bukanlah pijat abal-abal seperti  member Grindr itu.

Jam 2 dini hari aku terbangun.

Kubuka Grindrku. Ya Tuhan, banyak banget yang ngajak kencan. Dari yang mulai usia 20 hingga 40 tahun, pada ngajak bobok-bobok mesra. Ada apa dengan mereka? Nggak biasanya ajakan kencan sebanyak ini.  Biasanya hanya 8 atau 10 list saja!


Selidik punya selidik, ternyata aku ingat, siang tadi baru mengganti foto profilku dengan profil body tanpa muka. Jujur saja, bodyku memang lebih menawan dibandingkan dengan mukaku. Kata orang BMW gitu. -body mengalahkan wajah-

Dan nyatanya memang begitu. Di Grindr ini, nggak butuh wajah sopan dengan attitude yang humble. kalau ingin eksis, ya tetek kudu jaga badan dan keliaran tanpa kemunafikan. Oh ya, jangan jadi profil yang ribet. Kalau mau, langsung aja temui tanpa banyak cang cing cong.




Aku meladeni beberapa user yang masih online.  Ada beberapa yang sudah deal.  Tapi aku masih waraslah. Masak iya mau nemui mereka pada jam 3 pagi?

Bisa-bisa aku nanti dijuluki “Putri Embun”.
Putri Embun?  Iya, itu julukan buat para cong yang mencari lelaki hingga dini hari.  Hingga embun sudah pada turun ke bumi, tetep saja mencari lelaki.

Ogah ah!

Rabu, 21 Juni 2017

HAPPY ENDING






“Jadi orang tua itu nggak enak, Jo …,” kata emak curhat.

Saya mencoba mendengarkan keluhan emak. Setahu saya, dari zaman dinosaurus yang namanya jadi orang tua memang berat.

“Gara-gara mbak, yo Mak?”

“Iyo”

“Kenapa?”

“Lha gara-gara kamu bertengkar sama mbakmu, aku jadi disalah-salahkan. Katanya aku mbela kamu terus. Aku nggak mbela dia sama sekali. Aku pilih kasih”

“Nggak usah ditanggapi, mak. Mungkin dia lagi stress”

“Lha iyo. Lha aku kan sayang sama semua anakku. Kalau nggak sayang, wes tak cekik sejak lahir dulu”

“Hah. Sadis, Mak”

“Semua yo tak sekolahkan sampai sarjana”

“Ho-oh”

“Lha terus kog aku sik diarani pilih kasih”

“Yo ben to Mak. Sakarepe sing ngomong. Wong ngomong nggak kulak”

“Hhhh … Aku mbesuk lek wes tuek nggak gelem melu mbakyumu, Jo …”

“Emang saiki durung tuo?”

Hahaha.

Emak tertawa terbahak. Saya senang melihtnya tertawa. Giginya yang sudah ompong terlihat semua. Ya Allah, ternyata ibuku juga sudah tua ya. Sudah terlalu tua untuk menikmati penderitaan hidup.

Seharusnya beliau saat ini tinggal memetik amal kebaikan yang dulu beliau tanam. Tapi inilah kehidupan. Kita nggak bisa berharap apa-apa yang kita tanam akan berbuah seperti apa yang kita inginkan.

“Trus, karepe emak piye?”
“Aku melok kamu aja”

“Lha. Aku iki cerewet lho mak”
“Gak papa”

“Aku moody, mak. Kadang gampang marah”
“Gak papa”

“Gak nyesel melu aku?”
“Gak. Kamu anakku sing paling apik”

“Hala-hala …”

Kami berdua ketawa. Menertawakan hal yang kadang-kadang buat kita sedih. Tapi itulah hidup. Kalau kita menuruti kesedihan, menuruti permasalahan,  hidup ini jadi terasa berat.

Jadi, apapun masalahnya, hadapi saja dengan senyum. Hidup tanpa masalah, bukan hidup namanya. kalau sudah mati dan dikubur, pasti tak akan pernah ada lagi yang namanya masalah.


**

Tinggal dalam satu rumah tapi tak bertegur sapa itu rasanya aneh. Dan saya tahu persis, sebagai saudara sedarah tak seharusnya kami bersikap seperti ini.

Tapi saya bertahan atas nama ego.

Ego saya memang besar. Kalau merasa benar, saya akan bertahan dengan sikap saya. Saya memang begitu.

Tapi sebentar lagi lebaran tiba.

Akankah perseteruan kami ini akan terus berjalan? Well, saya rencana mau kabur saja saat lebaran. Biar nggak ada acara saling maaf-memaafkan. Masak saya yang tidak bersalah harus meminta maaf duluan?

NISTA!

Tapi saya mulai melihat tanda-tanda kakak perempuan saya ingin berdamai.  Sepulang kerja, dia membawakan kue putu kesukaan saya. Tapi diberikan lewat ibu saya.

Saya masih marah. Tapi kuenya tetep saya makan. Habis enak, sih!

Kemarin juga dia sempat-sempatkan membelikan saya nasi bebek. Saya masih marah, tapi nasi bebeknya tetep saya makan. Hehehe … daripada mubazir, mending nasi itu saya makan, bukan?

***

Pagi itu,  saya merasa mellow.

Seperti ada rasa sedih yang entah saya sendiri tak tahu kesedihan apa yang sedang saya alami. Miris aja. Saat bulan puasa hampir usai, mendekati lebaran, namun sedang ada masalah dalam keluarga.

Ada beberapa tetes air mata yang tiba-tiba saja menetes. Saya merasa belum menjadi pribadi yang baik. Terus sampai kapan saya begini? Sepertinya saya tak akan pernah bisa menjadi pribadi yang baik.

Dan itu menyedihkan sekali.

Saya hanya berharap dan berdoa semua permasalahan segera terselesaikan dengan baik. I hope it all will be happy ending.

SEMOGA.

-minta doanya ya-