Lebaran telah tiba!
Pagi itu aku tidak melaksanakan sholat Ied
di Masjid. Aku harus menjaga bapak yang sejak tiga hari kemarin sakit
panas. Sudah dikasih obat, tapi panasnya
masih juga tinggi.
Emak juga tidak ikutan sholat Iedul Fitri.
Emak memang istri yang setia. Beliau tidak pernah mau meninggalkan bapak kalau
kondisinya sedang sakit.
Emak nggak mau bapak meninggal tanpa ada
istri di sampingnya. Itu istri durhaka, katanya. Hahaha ... emang memang istri
yang setia. Beliau tak mau meninggalkan bapak barang sedetikpun.
Tapi, umur seseorang siapa yang tahu?
Lagian aku merasa bapak masihlah –harus-
berumur panjang. Anak-anaknya masih membutuhkan sosoknya, meski bapak sekarang
tak bisa berbuat banyak sekalipun.
Bapak, plis cepet sembuh!
*
“Emak gak dandan? Bentar lagi para tetangga
kan kesini?” kataku ke emak yang masih juga berkutat di dapur. Entah apa yang
dimasaknya. Lha wong nggak ada satupun makanan yang tersaji di meja makan. Emak
pasti sedang berkutat dengan pikirannya sendiri.
“Iya. Bentar lagi ...,” katanya mengelak.
“Baju barunya mana?” kataku menanyakan baju
yang dibelikan oleh temanku dari Pati sana.
“Kan tak taruh di lemarimu”
“Lah ... kan sudah dipindah kemarin”
“Durung. Masih disitu kog”
Aku langsung menuju ke kamar dan membuka
lemariku. Aku yakin baju baru itu tak ada di lemariku lagi. Kemarin kan sudah
dipindah semua sama emak.
“Nggak ada, mak”
“Lho ... ndok endi klambine ...”
Astaghfirullah.
Kadang aku merasa kesal dengan penyakit lupa
emak. Sudah sangat keterlaluan sekali
kelupaannya. Aku sadar itu karena faktor usia. Tapi kalau begini terus, aku kan
jadi jengkel sendiri.
Kulihat emak mulai membongkar-bongkar
lemarinya.
Baju itu seperti lenyap ditelan setan kober.
Shit. Aku ingin melihat emak mengenakan baju itu pagi ini. Dia pasti terlihat cantik dengan baju itu.
Baju gamis dengan hiasan payet blink-blink.
Tapi keinginanku sia-sia saja.
Hingga last minute, baju itu tak juga
ada. Dan emak, lagi-lagi mengenakan baju lamanya. Sepertinya
baju itu sudah beberapa hari raya dipakainya. Aku malu. Takut dianggap sebagai
anak yang tak peduli dengan kondisi emaknya.
Tapi aku bisa apa?
**
Aku sendiri mengenakan baju baru yang kubeli
di Matahari kemarin. Baju sederhana berwarna abu-abu berhiaskan bordiran di
sisi kanan. Penampilanku sudah mirip dengan muslim sejati. Hah.
Sebenarnya aku mau mengenakan baju gamis
pemberian sahabatku. Aku pasti akan terlihat tampan, sederhana dan suci. Suci
dan putih seperti warna bajunya.
Tapi aku tidak jadi mengenakannya. Tadi sempat kulihat tetangga depan rumah juga
mengenakan baju putih. Alamak. Kalau kumpul nanti, apa nggak jadi kayak kumpulan
grup musik hadrah?
Kuputuskan untuk memakai baju putih itu untuk sholat di masjid saja. Jadi ada amal yang mengalir buat pemberi baju
itu. Thanks, sahabatku Bah.
***
Orang-orang yang sholat di masjid sudah
pulang.
Tiba saatnya aku bermaaf-maafan dengan
ibu-bapakku. Tak ada acara mellow pagi ini saat aku sungkem sama emak. Ini gara-gara masalah baju emak baru yang
sirna itu.
SIGH.
Bapak belum bisa bangun. Bahkan membuka mata saja tidak. Aku hanya mendekatinya, menciumi wajahnya
serta mendoakan agar beliau cepat sembuh seperti sedia kala. Bapak, plis ... sembuhlah.
Usai acara
sungkeman itu, aku berbaur dengan para tetangga di sekitar.
Sudah semacam tradisi di kampung kami, usai
sholat Ied, kami saling mengunjungi ke rumah-rumah warga. Utamanya yang sudah senior, sudah sepuh dan
tidak bisa jalan lagi.
Ada rasa senang, bahagia dan sedih berkumpul
jadi satu.
Aku merasa senang bisa berkumpul, bertegur
sapa dengan teman-teman masa kecil dulu.
Apapun itu, masa kecil adalah masa paling menyenangkan. Itu masa dimana
kita tidak dituntut untuk bertanggungjawab terhadap masa depan kita. Masa
senang-senang.
Aku merasa bahagia, saat melihat
teman-temanku sudah pada sukses dengan kehidupannya sekarang. Ada yang jadi tentara, polisi, dan pengusaha. Beberapa teman ada juga yang masih merintis
usahanya.
Tapi aku sedih saat melihat ada beberapa
teman yang sudah sebatang kara. Tak ada
orang tua yang menemani di saat-saat seperti ini. Aku bisa merasakan ‘rasa kehilangan’ mereka.
Tapi di Hari Fitri seperti ini, aku tak
boleh larut dalam kesedihan.
Ini adalah hari dimana para muslim merayakan
kemenangannya usai sebulan penuh melawan hawa-nafsunya sendiri. Melawan rasa
lapar, haus dan nafsu seksual.
Sayangnya, aku belum bisa melaksanakan itu
semua.
****
Kubuka hapeku.
Ada banyak sekali ucapan dari teman-teman.
Aku sangat menghargai itu semua.
Kuanggap itu sebuah perhatian, meski hanya sekedar copy-paste saja. At least mereka sudah punya niat yang baik.
Ada satu pesan minta maaf dari teman kerja
yang selama ini kunyatakan sebagai musuhku. Aku tak langsung membalasnya. Kubiarkan saja pesannya tak berbalas. Aku
membalas pesan-pesan dari rekan-rekanku yang baik-baik saja.
But, hey ... think about it, JO!
Tak seharusnya aku berbuat seperti itu. Aku ingat ceramah pak ustad,”Kalau membalas kebaikan
dengan kebaikan itu hal yang biasa. Jadi luar biasa kalau kita membalas
kejahatan dengan kebaikan”
Njing!!!
Pikiranku seperti sedang bergulat. Pergulatan antara kebaikan dan
kejahatan. Sungguh, amarahku terasa
bergejolak panas kalau mengingat musuhku itu.
Jangankan berbicara dengannya, bahkan melihat bayangan tubuhnya saja aku
sudah mual.
Buatku, dia ini orang paling jahat
sedunia. Bitch!
Sampai pada satu keputusan, aku membalas
pesannya itu. Masih dengan setengah
hati, sih. Kupikir nggak ngaruh juga,
toh hanya tulisan ketikan tangan saja.
Ya Allah, jadikan hamba-MU ini pribadi yang
berhati luas seluas samudra. Jadikan
hamba pribadi yang berakhlak mulia.
Jadikan hamba sosok yang baik hati, ramah, tidak sombong dan tidak mudah
menyimpan dendam.
Ternyata jadi orang baik itu susah.
Oh ya ...
buat pembaca blogku yang beragama Islam:
“Selamat Hari Raya Idul Fitri.
Mohon Maaf Lahir Dan Batin”