Translate

Selasa, 20 Juni 2017

FAMILY CRASH





Buat saya, keluarga itu nomor satu.

Keluarga adalah tempat kita kembali ketika diluar sana tak ada yang mau menerima kita. Hanya keluarga tempat kembali kita yang terbaik. Itu sebab, saya selalu mengutamakan kepentingan keluarga meski ada beberapa ego yang harus saya korbankan.

Yes, I am a family man

*

Namun seharmonis apapun sebuah hubungan keluarga, pasti akan terjadi sebuah perpecahan yang kadang berawal dari hal sepele.

Siang itu, aku dan kakak perempuanku bertengkar hebat.

Dia tersinggung saat aku bilang,”Hatinya busuk.”

Saya sudah tak kuat menahan perasaan marah saya. Setiap kali saya akan pergi ke luar kota bersama emak, dia tak pernah menjawab izin saya. Saya biarkan saja.

Tapi kemarahan saya memuncak saat dia mulai mengasari emak saya. Dia sepertinya tak suka saat saya pergi bersama emak. Dia ingin kami tak pernah pergi bersama-sama.

Hingga akhirnya terucaplah kalimat itu.

Kalimat singkat yang mungkin menohok hatinya. Dia langsung mengeluarkan kata-kata yang teramat sangat tidak pantas keluar dari mulutnya.

Saya dituduhnya sering membuat ibu saya sakit hati.
Saya dituduhnya akan menguasai harta keluarga.
Saya dituduhnya berhati jahat kaya ‘t**k’.
Saya dicap sebagai saudara yang bang**t.
Dia menuntut saya membayar hutang-2 kepadanya.

Astagfirullah.

Sungguh jahat tuduhannya itu.  Itu semua sungguh tuduhan-tuduhan yang tidak beralasan. Saya bisa membantah itu semua. Saya punya dasar-dasar dan bukti nyata bahwa saya bukanlah seperti yang dia tuduhkan.

Saya seharusnya kalap.
Saya seharusnya marah besar.
Saya seharusnya menampar dan membungkam mulutnya.

Tapi itu tidak saya lakukan.

Saya hanya bilang,”Terserah kamu anggap saya apa. Kamu harusnya tahu diri. Kamu nggak sadar apa-apa yang sudah saya lakukan untuk keluarga? Berani kamu bilang saya punya hutang ke kamu?”

Saya tak pernah suka mengungkit-ungkit apa yang sudah saya berikan pada seseorang. Tapi tuduhan jahat itu membuat saya lupa diri. Saya beberkan apa-apa yang sudah saya berikan.

Tapi bukannya sadar, kakak saya malah kalap.

Dia bilang mau pergi dari rumah. Dia mau minggat. Dia merasa sudah berbuat banyak pada keluarga tapi tidak ada yang menghargai. Dia merasa merawat ayah saya yang sedang sakit adalah beban berat buatnya.

Ya Tuhan.

Kakak saya ini pasti sedang kemasukan setan. Kalau dia menganggap saya buruk, its oke, saya terima tuduhannya itu. Tapi kalau dia bilang merawat orang tua adalah sebuah beban? Oh no. Saya tidak bisa terima itu.
Dulu saya merawat ayah sendiri. Saat ibu sakitpun saya lakukan sendirian. Tidak ada kata menyesal atau mengeluh tentang itu semua. Semua itu saya anggap sebuah kewajiban selaku anak.

Saya tidak mau merawat orang tua dibilang sebuah beban. Itu dosa besar. Orang bilang itu perbuatan anak durhaka. Dan balasan dari durhaka pada orang tua adalah neraka jahanam.
  
Astaghfirullah.

**

Sudah hampir sebulan saya mendiamkannya.

Saya dan emak sudah sepakat tidak akan menahannya seandainya kakak saya akan pergi dari rumah. Dia bukanlah gadis kecil lagi. Usianya sudah hampir lima puluh tahun. Usia yang sudah teramat sangat matang untuk menentukan arah hidupnya.

Saya dan emak menahan diri saat kakak saya itu koar-koar ke temannya, ke tetangga dan ke bossnya tentang permasalahannya itu. hahaha. Itu perbuatan yang tidak dewasa.

Para tetangga juga tahu, siapa yang memberinya makan ketika perceraiannya dengan suaminya terjadi empat tahun yang lalu.  Para temannya juga tahu siapa yang mebelikannya ini-itu ketika dia tak bekerja dan tak punya penghasilan sepeserpun.

Itu semua saya dan emak yang menanggung.

Jadi kalau sekarang dia koar-koar kepada sana-sini, hehehe … saya yakin semua juga tahu siapa yang salah. Lagian ini kan bukan masalah siapa yang salah siapa yang benar.

Jadi saya dan emak tak mengacuhkannya.

Nyatanya kakak saya tak berani meninggalkan rumah. Emang dia pikir tinggal di luar sana gratis? Hola, baru sadarkah dirimu bahwa kamar-kamar kost di luar sana sudah sedemikian mahalnya? Rate sewa sudah antara 500k s.d. 1 juta rupiah per bulan.

Apa sanggup dia bayar itu semua?

Gaji yang dia terima saat ini saja berkisar dua juta rupiah saja. Apa cukup hidup di luar dengan gaji segitu?
Sepertinya ini memang ujian kesabaran buat saya dan emak.

Bagaimana bisa, kami yang sudah berkorban seberat ini masih juga dianggap seperti sampah?  Sekali lagi, ini saya anggap sebagai ujian keikhlasan saya.

Bagaimana sikap saya ketika kita yang sudah berkorban habis-habisan namun malah dituduh dengan tuduhan yang tak pantas? Masya Allah.  Sumpah, kalau mengingat ini semua saya menangis.

Bagaimana bisa dia, kakak kandungku menuduhku dengan tuduhan sejahat itu?

Ini benar-benar menyakitkan hatiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar