Tapi secara naluriah, aku yakin Janu
adalah lelaki gay.
Siang itu aku menemuinya di
kostnya. Kosnya sederhana. Hanya sebuah ruang panjang dengan kasur di
atas lantai dan sebuah bufet panjang dimana ada teve dan DVD yang tertata
dengan rapi. Ada beberapa DVD yang
berserakan di atas DVD player. Bisa jadi
si Janu adalah penggemar film, sama sepertiku.
“Nggak nyasar tadi, mas?”
“Nggak, JA. Kalau daerah sini aja
hapal mampus aku”
“Lagi liburkah mas?”
“Iya. Sabtu dan Minggu aku kan libur”
“Sama dong”
Bla bla bla … kami terlibat pembicaraan
yang entah kemana ujungnya. Sepertinya
kami memang sama-sama segan memulai. Hahaha … basi banget, ya! Aku juga yakin, Janu bukanlah a new comer di
dunia gay.
Tapi sepertinya aku yang harus memulai.
Kudekatkan tubuhku ke tubuhnya. Tanganku
merapat ke tangannya. Janu merespon. Tangannya mulai meremas-remas
tanganku. Kami saling meremas jari
jemari. Aku mulai merapat. Janu juga kian mendekat.
Kulabuhkan ciuman tipis di pipinya. Janu membalas ciumanku. Bibir seksinya
langsung mendarat di bibirku. Kami saling berpagut. Harus kuakui, dia jago
kissing. Aku sampai kehabisan napas.
Tapi siapa yang peduli dengan napas, kala napsu sudah mulai membuncah di
kepala kami?
Janu membawaku ke sudut ruangan
kamarnya. Kulepas bajunya satu
persatu. Not bad. His body is sexy. Dan aku menjadi sangat
penasaran luar biasa ketika kurasakan ada sesuatu yang mengeras di depan
selangkangannya.
Kubuka celana jinsnya. Kutarik celana dalamnya dengan sedikit
kasar. Dan … Oh My God. Janu memang lelaki sempurna. Dia tak hanya
tampan dan bertubuh seksi, dia juga memiliki kontol yang besar dan
panjang. Sungguh sebuah pemandangan yang
elok di mata kala memandangnya telanjang seperti itu.
Siang ini, kami bercinta dengan
liarnya.
Usai bercinta, aku segera membereskan
bajuku dan merapikan tempat Janu. Aku
tak mau meninggalkan bekas kotor di tempat yang telah kubuat bersetubuh.
Seluruh kondisi harus rapi seperti sedia kala.
“Kog terburu-buru, mas” tanya Janu.
“Iya. Ada acara sore ini,” kataku
beralasan.
“Keep contact, mas”
“Pasti. Thanks ya …”
*
Waktu seperti cepat berlalu.
Hubunganku dengan Janu tidak berjalan
dengan lancar. Aku sibuk, dia sepertinya
juga begitu. Tak ada satupun sms darinya. Aku juga segan berkirim sms dengannya.
Kupikir percintaan panas kami saat itu hanya sekedar quicky sex saja. Hanya sekedar pelampiasan nafsu sesaat saja.
Aku tetap melakukan quicky sex dengan para pria-pria muda
lain. Kupikir Janu pun demikian. Sebagai
seorang lelaki muda, tampan dan seksi pasti tak sulit baginya mendapatkan teman
kencan.
3 month later …
“Lagi dimana, mas?” satu SMS dari
Janu.
“Di Malang. Kamu dimana?”
“Sama. Aku juga lagi di Malang”
“Lagi sama BF ya?”
“Hehehe. Nggak. Sama keluarga”
“Oh”
“Kamu sama siapa mas?”
“Sendiri di rumah”
“Oh ya? Boleh main ke tempatmu?”
“Boleh. Tapi ini udah jam 12 malam”
“Gak papa”
“Gile lu. Rumahku di ujung gunung!!!!”
“Aku pengen ketemu kamu, mas”
“Lah … bocah edan. Gombal Prakosa,
kamu!”
“Sumpah, mas”
“Lah terus piye iki? tetep mau
kesini?”
“Iya”
“Tahu arahnya, kan?”
“Aku cari. Kasih ancer-ancer saja,
mas”
God Boy! Aku suka dengan pria-pria yang seperti ini.
Pria tampan, lugas tidak manja.
Jarang-jarang kutemukan lelaki homo yang seperti ini. Yang ada biasanya udah gak cakep, body jelek,
manjha pula.
Uhlala … kamu yang begitu, masuk ke
sumur aja ya!
***
Tiga puluh menit kemudian, kulihat
sosok Janu dengan sepeda motor bebeknya muncul di ujung gang kampungku. Aku
sempat was-was dengan keselamatan dirinya. Hari sudah sangat malam, kejahatan bisa
mengancam siapa saja di jam-jam malam.
Tapi Alhamdulillah, dia bisa mnemukan
rumahku dengan selamat tak kurang satu apapun.
Begitu masuk ke rumah, aku baru
menyadari wajah Janu nampak pucat pasi. Sepertinya dia memang kedinginan. Kupegang tangannya. Beku seperti es balok.
Aku segera membuatkan the panas, agar
tubuhnya hangat.
Janu menggigil kedinginan. Aku segera membawanya ke kamar tidur dan
memeluknya erat-erat. Kuciumi pipin dan
bibirnya biar hawa panas segera mengalir ke tubuhnya.
Tapi dia tetap menggigil.
Kututupi tubuhnya dengan selimut,
sarung dan sprei. Untunglah, akhirnya dia tak lagi menggigil. Aku segera mendekapnya erat. Kami saling berciuman dengan panasnya. Kubuka baju dan celananya hingga kami berdua
saling telanjang bulat di dalam selimut.
Malam ini kami bercinta untuk yang
kedua kalinya.
Harus aku akui, aku mulai jatuh cinta
kepadanya. Dia adalah lelaki yang aku
dambakan selama ini. Aku suka semua yang ada pada dirinya. Namun yang mmbuatku
jatuh hati adalah keteguhan hatinya untuk menemuiku di tengah pagi buta yang
dingin ini.
I Love You, Janu.