Translate

Kamis, 21 September 2017

I LOVE YOU


Aku mengenalnya dari sosial media.  Perkenalan kami itu berjalan dengan lancar, cepat dan tanpa basa-basi.  Aku suka dengan type pria yang seperti ini.  Bahkan kami tak saling bertanya tentang apa orientasi seks kami.

Tapi secara naluriah, aku yakin Janu adalah lelaki gay.

Siang itu aku menemuinya di kostnya.  Kosnya sederhana.  Hanya sebuah ruang panjang dengan kasur di atas lantai dan sebuah bufet panjang dimana ada teve dan DVD yang tertata dengan rapi.  Ada beberapa DVD yang berserakan di atas DVD player.  Bisa jadi si Janu adalah penggemar film, sama sepertiku.

“Nggak nyasar tadi, mas?”
“Nggak, JA. Kalau daerah sini aja hapal mampus aku”

“Lagi liburkah mas?”
“Iya. Sabtu dan Minggu aku kan libur”

“Sama dong”


Bla bla bla … kami terlibat pembicaraan yang entah kemana ujungnya.  Sepertinya kami memang sama-sama segan memulai. Hahaha … basi banget, ya!  Aku juga yakin, Janu bukanlah a new comer di dunia gay.


Tapi sepertinya aku yang harus memulai.


Kudekatkan tubuhku ke tubuhnya. Tanganku merapat ke tangannya. Janu merespon. Tangannya mulai meremas-remas tanganku.  Kami saling meremas jari jemari. Aku mulai merapat. Janu juga kian mendekat. 
 
 
Kulabuhkan ciuman tipis di pipinya.  Janu membalas ciumanku. Bibir seksinya langsung mendarat di bibirku. Kami saling berpagut. Harus kuakui, dia jago kissing. Aku sampai kehabisan napas.  Tapi siapa yang peduli dengan napas, kala napsu sudah mulai membuncah di kepala kami?

Janu membawaku ke sudut ruangan kamarnya.  Kulepas bajunya satu persatu.  Not bad.  His body is sexy. Dan aku menjadi sangat penasaran luar biasa ketika kurasakan ada sesuatu yang mengeras di depan selangkangannya.

Kubuka celana jinsnya.  Kutarik celana dalamnya dengan sedikit kasar.  Dan … Oh My God.  Janu memang lelaki sempurna. Dia tak hanya tampan dan bertubuh seksi, dia juga memiliki kontol yang besar dan panjang.  Sungguh sebuah pemandangan yang elok di mata kala memandangnya telanjang seperti itu.

Siang ini, kami bercinta dengan liarnya.

Usai bercinta, aku segera membereskan bajuku dan merapikan tempat Janu.  Aku tak mau meninggalkan bekas kotor di tempat yang telah kubuat bersetubuh. Seluruh kondisi harus rapi seperti sedia kala.

“Kog terburu-buru, mas” tanya Janu.
“Iya. Ada acara sore ini,” kataku beralasan.

“Keep contact, mas”
“Pasti. Thanks ya …”

*

Waktu seperti cepat berlalu.

Hubunganku dengan Janu tidak berjalan dengan lancar.  Aku sibuk, dia sepertinya juga begitu.  Tak ada satupun sms darinya.  Aku juga segan berkirim sms dengannya. Kupikir percintaan panas kami saat itu hanya sekedar quicky sex saja. Hanya sekedar pelampiasan nafsu sesaat saja.

Aku tetap melakukan quicky sex dengan para pria-pria muda lain.  Kupikir Janu pun demikian. Sebagai seorang lelaki muda, tampan dan seksi pasti tak sulit baginya mendapatkan teman kencan.


3 month later …


“Lagi dimana, mas?” satu SMS dari Janu.
“Di Malang. Kamu dimana?”

“Sama. Aku juga lagi di Malang”
“Lagi sama BF ya?”

“Hehehe. Nggak. Sama keluarga”
“Oh”

“Kamu sama siapa mas?”
“Sendiri di rumah”

“Oh ya? Boleh main ke tempatmu?”
“Boleh. Tapi ini udah jam 12 malam”

“Gak papa”

“Gile lu. Rumahku di ujung gunung!!!!”
“Aku pengen ketemu kamu, mas”

“Lah … bocah edan. Gombal Prakosa, kamu!”
“Sumpah, mas”

“Lah terus piye iki? tetep mau kesini?”
“Iya”

“Tahu arahnya, kan?”
“Aku cari. Kasih ancer-ancer saja, mas”

God Boy!  Aku suka dengan pria-pria yang seperti ini. Pria tampan, lugas tidak manja.  Jarang-jarang kutemukan lelaki homo yang seperti ini.  Yang ada biasanya udah gak cakep, body jelek, manjha pula.

Uhlala … kamu yang begitu, masuk ke sumur aja ya!

***

Tiga puluh menit kemudian, kulihat sosok Janu dengan sepeda motor bebeknya muncul di ujung gang kampungku. Aku sempat was-was dengan keselamatan dirinya. Hari sudah sangat malam, kejahatan bisa mengancam siapa saja di jam-jam malam.

Tapi Alhamdulillah, dia bisa mnemukan rumahku dengan selamat tak kurang satu apapun.
Begitu masuk ke rumah, aku baru menyadari wajah Janu nampak pucat pasi. Sepertinya dia memang kedinginan.  Kupegang tangannya. Beku seperti es balok.

Aku segera membuatkan the panas, agar tubuhnya hangat.

Janu menggigil kedinginan.  Aku segera membawanya ke kamar tidur dan memeluknya erat-erat.  Kuciumi pipin dan bibirnya biar hawa panas segera mengalir ke tubuhnya.

Tapi dia tetap menggigil.

Kututupi tubuhnya dengan selimut, sarung dan sprei. Untunglah, akhirnya dia tak lagi menggigil.  Aku segera mendekapnya erat.  Kami saling berciuman dengan panasnya.  Kubuka baju dan celananya hingga kami berdua saling telanjang bulat di dalam selimut.

Malam ini kami bercinta untuk yang kedua kalinya.

Harus aku akui, aku mulai jatuh cinta kepadanya.  Dia adalah lelaki yang aku dambakan selama ini. Aku suka semua yang ada pada dirinya. Namun yang mmbuatku jatuh hati adalah keteguhan hatinya untuk menemuiku di tengah pagi buta yang dingin ini.

I Love You, Janu.