PATY’s STREET,
begitu aku menyebutnya.
Paty bukanlah jalan
besar, melainkan hanya sebuah jalan tembus di tengah kota dimana Sungai kalimas
menjadi pembatasnya. Jalan ini dulu
sangat terkenal sebagai tempat rendesvous
para gay Surabaya. Seiring perkembangan zaman, tempat ini menjadi sepi.
Para gay sekarang
sudah menjadikan gadget sebagai sarana komunikasi untuk bertemu satu dengan
yang lain. Aplikasi-aplikasi gay juga sudah sangat familiar digunakan di
kalangan gay. Bahkan gay yang gaptek
sekalipun sudah terampil dan mahir menggunakan aplikasi gay ini.
Meski tergerus
tekhnologi, tapi kemasyuran jalan ini tak pernah mati.
Masih saja ada para
gay yang tetap setia mendatangi lorong jalan ini. Mungkin hanya sekedar
bernostalgia, mengingat kenangan-kenangan manis. Atau bisa jadi mencari teman kencan sesaat.
Ssst, we can do
quicky sex at this place!
Tapi untuk melakukan
itu kita harus pandai-pandai melihat situasi.
Kadang ada preman yang suka usil dengan modus minta uang, merampas hape, hingga merampas sepeda
motor. Beberapa kejadian kriminal di
tempat ini bahkan sudah pernah menjadi berita di koran-koran lokal.
Selain preman,
kadang juga ada razia dari satpol pp pemkot surabaya yang rutin mengawasi dan
memeriksa tempat ini.
*
Pukul 11.00 malam.
Aku masih berdiri
di tengah Paty’s Street. Suasana masih
tak banyak berubah. View hotel
bertingkat dengan beberapa lampu kamar di tingkat paling atas yang nampak
berpendar di kejauhan masih terlihat dari dulu hingga kini.
Tak terasa sudah
tiga jam aku berada di sini.
Kamu nggak laku
lagi, kan Jonas? Hush! Jangan asal
menuduh! Kalau mau sembarangan memilih teman kencan, bisa saja aku memilih
salah satu dari beberapa lelaki yang berhenti di depanku tadi.
Ada penjual bubur
kacang ijo, bakul pangsit mie, tukang becak dan beberapa kuli yang sepertinya
ingin mengenalku lebih dalam. Secara
halus aku menolak mereka dengan mengatakan bahwa aku sedang menunggu pacar.
What the Fu*k!
Mohon maaf
sebesar-besarnya, bukannya saya menghina profesi mereka, tapi selera saya
memang mahasiswa atau pekerja kantoran berusia di bawah 30 tahun. Buat saya, selera tak bisa dibohongi. Mungkin satu saat nanti, ketika selera saya
berubah bisa jadi saya akan melayani keinginan mereka.
Bisa jadi.
**
“Sendirian, pak?”
Sapaan ini jelas
mengejutkanku. Sedari tadi aku sibuk
merenung sambil memutar lagu-lagu baru dengan kencangnya di headsetku. Suara motor yang berhenti di dekatku bahkan
tak kudengar sama sekali.
“Eh ... iya mas
...,” kataku seraya melepaskan headset di telingaku. Kumatikan song player dari hapeku.
“Lagi nunggu
teman?”
“Enggak”
“Darimana bapak?’
“Dari rumah. Kamu
darimana?”
“Pulang kerja, pak”
“OK”
Aku melihatnya
masih mengenakan baju seragam kerjanya.
Dari bajunya, aku menduga dia pelayan
restoran atau sales promotion boy.
Usianya sekitar 25 tahunan. SIP!!
Yang begini ini selera saya banget!
“Eh, nama kamu
siapa?”
“Rizki, pak”
“Yayaya ... kamu
rezeki saya,” godaku.
Dia tertawa
terbahak. Gigi geliginya nampak putih
dan bersih. Dan baru kusadari bibirnya terlihat mengkal. Tidak terlalu tebal, namun kissable.
“Bibir kamu seksi”
“Bisa aja bapak. Eh
nama bapak siapa?”
“Jon”
“Jojon”
“Terserah kamu”
Haaaaaa ...
Kami terlibat dalam
percakapan basa-basi yang nggak penting. I hate this action. Aku ingin kami
bicara secara langsung, apa kebutuhan dia dan apa kebutuhan saya. Nggak mau
basa-basi ini lagi. Garing dan terasa teramat sangat boring.
“Rizki ... sini ...” kataku memulai.
Rizki
mendekatiku. Aku memegang
tangannya. Kurengkuh lengannya yang
ringkih dengan lembut. Mata Rizki
seperti nampak sayu. Aku suka melihatnya yang seperti mulai terhipnotis
kala menatap mataku.
Tatap mata saya ...
tatap mata saya ...
Kutarik tubuhnya
hingga jatuh dalam pelukanku. Kucium
dahinya, pipinya dan bibirnya. Kami
berpagut sesaat.
“Ada orang lewatttt
paaaak ...” katanya seraya menjauhkan tubuhnya dari tubuhku.
Aku bersikap biasa
saja. Bagiku, tempat ini bukanlah tempat
yang asing. Aku sudah hapal mampus
dengan tempat ini, bahkan aku masih mengingat sudut-sudut ruang tempatku
membuang pejuh.
“Kamu tenang saja.
Gak usah terlihat tergopoh gitu. kalau kamu tenang, orang akan melihat kita
sedang bicara biasa saja”
“Aku grogi, pak”
“Iya. saya dulu
juga gitu. Makanya aku ngajari kamu bersikap tenang”
“Waduh, kamu
pengalaman, pak?”
“Iyalah”
Jalanan sudah sepi
lagi. Aku segera menarik tubuh REizku
dan mulai menciuminya dengan membabi buta.
Rizki seolah hanyut dalam rangsangan awalku. Tanpa sungkan lagi, dia mengangkat kaosnya
dan menyodorkan puting kanannya yang sudah mulai meringkil ke dalam mulutku.
“Isepin, pak”
Aku menghisap
putingnya. Kusesap dan kujilat-jilat
dengan cara melingkar. Rizki mendesis
seperti ular derik. Tangannya meraba
belakang kepalaku dan membenamkannya lebih dalam lagi. Aku menghisap putingnya lebih dalam
lagi.
Sementara itu
tanganku mulai menelusup ke dalam celana Rizki.
Busyet, kontolnya
sudah tegang maksimal. Bisa kuraba
urat-urat yang terukir dilapisan kulit kontolnya mulai menonjol. Damned. Kontolnya panjang dan besar, sedikit bengkok
ke kiri. I really love this cock type.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar