Translate

Jumat, 24 Maret 2017

QUICK RIZKY





PATY’s STREET, begitu aku menyebutnya.

Paty bukanlah jalan besar, melainkan hanya sebuah jalan tembus di tengah kota dimana Sungai kalimas menjadi pembatasnya.  Jalan ini dulu sangat terkenal  sebagai tempat rendesvous para gay Surabaya. Seiring perkembangan zaman, tempat ini menjadi sepi.

Para gay sekarang sudah menjadikan gadget sebagai sarana komunikasi untuk bertemu satu dengan yang lain. Aplikasi-aplikasi gay juga sudah sangat familiar digunakan di kalangan gay.  Bahkan gay yang gaptek sekalipun sudah terampil dan mahir menggunakan aplikasi gay ini.

Meski tergerus tekhnologi, tapi kemasyuran jalan ini tak pernah mati.

Masih saja ada para gay yang tetap setia mendatangi lorong jalan ini. Mungkin hanya sekedar bernostalgia, mengingat kenangan-kenangan manis.  Atau bisa jadi mencari teman kencan sesaat.

Ssst, we can do quicky sex at this place!

Tapi untuk melakukan itu kita harus pandai-pandai melihat situasi.  Kadang ada preman yang suka usil dengan modus minta uang,  merampas hape, hingga merampas sepeda motor.  Beberapa kejadian kriminal di tempat ini bahkan sudah pernah menjadi berita di koran-koran lokal.

Selain preman, kadang juga ada razia dari satpol pp pemkot surabaya yang rutin mengawasi dan memeriksa tempat ini.

*

Pukul 11.00 malam.

Aku masih berdiri di tengah Paty’s Street.  Suasana masih tak banyak berubah.  View hotel bertingkat dengan beberapa lampu kamar di tingkat paling atas yang nampak berpendar di kejauhan masih terlihat dari dulu hingga kini.

Tak terasa sudah tiga jam aku berada di sini.

Kamu nggak laku lagi, kan Jonas? Hush!  Jangan asal menuduh! Kalau mau sembarangan memilih teman kencan, bisa saja aku memilih salah satu dari beberapa lelaki yang berhenti di depanku tadi.

Ada penjual bubur kacang ijo, bakul pangsit mie, tukang becak dan beberapa kuli yang sepertinya ingin mengenalku lebih dalam.  Secara halus aku menolak mereka dengan mengatakan bahwa aku sedang menunggu pacar.

What the Fu*k! 

Mohon maaf sebesar-besarnya, bukannya saya menghina profesi mereka, tapi selera saya memang mahasiswa atau pekerja kantoran berusia di bawah 30 tahun.  Buat saya, selera tak bisa dibohongi.  Mungkin satu saat nanti, ketika selera saya berubah bisa jadi saya akan melayani keinginan mereka.

Bisa jadi.

**

“Sendirian, pak?”

Sapaan ini jelas mengejutkanku.  Sedari tadi aku sibuk merenung sambil memutar lagu-lagu baru dengan kencangnya di headsetku.  Suara motor yang berhenti di dekatku bahkan tak kudengar sama sekali.

“Eh ... iya mas ...,” kataku seraya melepaskan headset di telingaku.  Kumatikan song player dari hapeku.

“Lagi nunggu teman?”

“Enggak”

“Darimana bapak?’

“Dari rumah. Kamu darimana?”

“Pulang kerja, pak”

“OK”

Aku melihatnya masih mengenakan baju seragam kerjanya.  Dari bajunya, aku menduga dia pelayan  restoran atau sales promotion boy.  Usianya sekitar 25 tahunan.  SIP!! Yang begini ini selera saya banget! 

“Eh, nama kamu siapa?”
“Rizki, pak”

“Yayaya ... kamu rezeki saya,” godaku.

Dia tertawa terbahak.  Gigi geliginya nampak putih dan bersih. Dan baru kusadari bibirnya terlihat mengkal.  Tidak terlalu tebal, namun kissable.

“Bibir kamu seksi”

“Bisa aja bapak. Eh nama bapak siapa?”
“Jon”

“Jojon”

“Terserah kamu”

Haaaaaa ...
Kami terlibat dalam percakapan basa-basi yang nggak penting. I hate this action. Aku ingin kami bicara secara langsung, apa kebutuhan dia dan apa kebutuhan saya. Nggak mau basa-basi ini lagi. Garing dan terasa teramat sangat boring.

“Rizki  ... sini ...” kataku memulai.

Rizki mendekatiku.  Aku memegang tangannya.  Kurengkuh lengannya yang ringkih dengan lembut.  Mata Rizki seperti nampak sayu.  Aku suka  melihatnya yang seperti mulai terhipnotis kala menatap mataku.

Tatap mata saya ... tatap mata saya ...

Kutarik tubuhnya hingga jatuh dalam pelukanku.  Kucium dahinya, pipinya dan bibirnya.  Kami berpagut sesaat.

“Ada orang lewatttt paaaak ...” katanya seraya menjauhkan tubuhnya dari tubuhku.

Aku bersikap biasa saja.  Bagiku, tempat ini bukanlah tempat yang asing.  Aku sudah hapal mampus dengan tempat ini, bahkan aku masih mengingat sudut-sudut ruang tempatku membuang pejuh.

“Kamu tenang saja. Gak usah terlihat tergopoh gitu. kalau kamu tenang, orang akan melihat kita sedang bicara biasa saja”

“Aku grogi, pak”

“Iya. saya dulu juga gitu. Makanya aku ngajari kamu bersikap tenang”

“Waduh, kamu pengalaman, pak?”

“Iyalah”

Jalanan sudah sepi lagi.  Aku segera menarik tubuh REizku dan mulai menciuminya dengan membabi buta.  Rizki seolah hanyut dalam rangsangan awalku.  Tanpa sungkan lagi, dia mengangkat kaosnya dan menyodorkan puting kanannya yang sudah mulai meringkil ke dalam mulutku.

“Isepin, pak”

Aku menghisap putingnya.  Kusesap dan kujilat-jilat dengan cara melingkar.  Rizki mendesis seperti ular derik.  Tangannya meraba belakang kepalaku dan membenamkannya lebih dalam lagi.  Aku menghisap putingnya lebih dalam lagi. 

Sementara itu tanganku mulai menelusup ke dalam celana Rizki.

Busyet, kontolnya sudah tegang maksimal.  Bisa kuraba urat-urat yang terukir dilapisan kulit kontolnya mulai menonjol. Damned.  Kontolnya panjang dan besar, sedikit bengkok ke kiri. I really love this cock type.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar